Penulis: Etzar Frangky Tulung
Mitra – Publik Sulawesi Utara kembali dikejutkan dengan aksi perusakan terhadap situs milik Masyarakat Adat di Desa Ranoketang Atas, Kecamatan Touluaan, Kabupaten Minahasa Tenggara. Aksi itu terekam dan viral di media sosial facebook pada Minggu, 13 juli 2025.
Dalam video itu, secara jelas memperlihatkan seorang pria yang sengaja melakukan perusakan terhadap situs batu lisung milik Masyarakat Adat Toundanow Tonsawang dengan menggunakan martil.
Tindakan ini sontak menuai respons amarah dari berbagai pihak. Salah satunya Pengurus Wilayah (PW) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Utara (Sulut). Organisasi yang selama ini fokus pada pengadvokasian perlindungan hak-hak Masyarakat Adat itu mengecam tindakan brutal yang dilakukan oknum dalam video tersebut.
AMAN menilai, tindakan tersebut telah menimbulkan keresahan mendalam bagi gerakan Masyarakat Adat di Sulawesi Utara. Apalagi dalam video tersebut, selain melakukan perusakan, ada suara-suara yang diduga kuat merupakan narasi kebencian yang berpotensi memprovokasi kelompok-kelompok tertentu.
“Tindakan ini juga menambah rentetan panjang stigma negative yang disematkan kepada Masyarakat Adat,” kata Ketua PW AMAN Sulut, Kharisma Kurama.
Menurut AMAN, situs Masyarakat Adat tidak bisa hanya dilihat sebagai sebuah tumpukan batu atau benda mati semata, melainkan perlu dilihat sebagai simpul vital yang menghubungkan generasi masa kini dengan leluhur, tradisi dan identitas.
“Keberadaan situs adalah tanda eksistensi Masyarakat Adat yang harusnya dilindungi sebab itu adalah mandat dari konstitusi bukan malah dirusak,” ujarnya.
Kurama menjelaskan, bahkan peristiwa seperti ini bukan hanya merusak dan menghilangkan jejak sejarah, tapi sudah melukai harga diri dan spritualitas Masyarakat Adat Tonsawang dan Masyarakat Adat di Minahasa bahkan Sulawesi Utara secara umum.
Menurut AMAN, aksi-aksi seperti ini dipicu, kurangnya pemahaman masyarakat, lemahnya penegakkan hukum, serta absennya pemerintah daerah dalam mengakomodir perlindungan terhadap hak-hak Masyarakat Adat.
Padahal, perlindungan terhadap Masyarakat Adat termasuk situs-situs telah dijamin oleh berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia dan instrumen hukum internasional, seperti: UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 18b Ayat (2) yang menegaskan soal pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan Masyarakat Adat beserta hak tradisionalnya.
Dalam kasus ini, situs adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak-hak tradisional.UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur tentang hak adat yang perlu dijunjung tinggi di dalam lingkungan Masyarakat Adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM).
Artinya, perusakan terhadap situs di Ranoketan jelas merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia. UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang mengatur tentang perlindungan dan sanksi terhadap perusakan situs dan cagar budaya.
Dalam UU ini bahkan, pelaku yang diduga kuat melakukan perusakan terhadap situs dan cagar budaya dapat disanksi pidana. Artinya, sekalipun situs di ranoketang belum tentu secara formal ditetapkan sebagai cagar budaya, tapi situs tersebut memiliki nilai historis dan spiritual yang memenuhi kriteria cagar budaya sehingga harus dilindungi.
Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP), secara internasional, United Nations Declaration on the Rights of Indegenous Peoples (UNDRIP) mengakui hak Masyarakat Adat untuk melestarikan, melindungi, dan mengembangkan manifestasi budaya mereka, termasuk situs maupun ritus.
Atas dasar pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang terjadi, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Sulawesi Utara menuntut: Mengentikan seluruh aktivitas yang merusak situs dan mengancam eksistensi Masyarakat Adat di Kabupaten Minahasa Tenggara.
Aparat penegak hukum untuk segera melakukan penegakan hukum terhadap pelaku perusakan situs di Ranoketang Atas. Pihak yang bertanggung jawab untuk segera melakukan pemulihan dan restorasi terhadap situs adat yang telah dirusak, baik secara fisik maupun spiritual.
Pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara dan DPRD Kabupaten Minahasa Tenggara segera membentuk produk hukum daerah yang mengakui dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat, guna mencegah peristiwa serupa terjadi masa mendatang.
Adanya partisipasi penuh dan bermakna dari Masyarakat Adat dalam setiap proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan wilayah dan situs adat mereka, sesuai dengan prinsip persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan tanpa paksaan (FPIC).
Peristiwa ini menjadi pengingat bagi seluruh pihak akan pentingnya penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak Masyarakat Adat termasuk warisan budaya. Tanpa tindakan tegas dan komitmen nyata dari semua pihak terlebih pemerintah, situs-situs adat yang menjadi jantung peradaban akan terus terancam punah.