Memahami judul tulisan
Judul di atas, adalah salah satu materi belajar dalam program Pembinaan Warga Gereja (PWG), Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM), akhir tahun 1970-awal/pertengahan 1980-an. Program yang dijalankan oleh sebuah tim PPWG yang sangat kuat, mengerti pekerjaannya, baik secara substansi, praksis, strategis dan mendasar, terhubung jelas antara makna pemahaman Alkitab dengan realitas yang terjadi di jemaat, di gereja dan di masyarakat dengan apa yang dibutuhkan, dan bagaimana melaksanakannya. Tema yang juga menjadi materi perkuliahan PWG di Fakultas Teologi UKIT-Tomohon jaman itu. Sangat menarik, dalam dan sungguh-sungguh mencerahkan para mahasiswa, calon pendeta, pelayan jemaat dan gereja yang diharapkan, kelak mampu melayani manusia-manusia secara utuh dan sungguh-sungguh. Menyembuhkan, bukan karena dia sakit fisik dan perlu ke dokter atau ke rumah sakit, tetapi menyembuhkan dalam arti secara mental-moral-spiritual dan tentu sebagai manusia biasa, diperlukan penyembuhan penyakit-penyakit sosial dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Karena itu, pada tahun-tahun tersebut program PWG-GMIM, sungguh baik, relevan dengan konteks kebutuhan jemaat, gereja yang adalah juga warga masyarakat. Alumni mahasiswa Fakultas Teologi pada tahun-tahun itu, utusan dari Gereja-gereja mitra manapun di Sulawesi Utara-Tengah, bahkan dari luar wilayah tersebut, pasti ingat tentang materi PWG ini. Entah sekarang, program PWG-GMIM, apa, dan seperti apa, di tengah konteks yang berkembang, berubah dan menantang, sekalipun dipastikan, sasaran pelayanannya tidak berubah, yaitu manusia-manusia yang hidup dan ingin hidup baik, sehat dan beradab, bukan benda-benda lain, yang mati.
Kesan dan bukti tentang Pemimpin Sinode GMIM sekarang
Ketika ketua sinode ‘ini’ terpilih pertama kali beberapa tahun lalu, spontan saya katakan atau ucapan saya adalah: “ini waktunya GMIM benar-benar hancur”.
Ada dua alasan: a) sudah mendengar banyak cerita, bagaimana yang bersangkutan, pada saat sebelumnya, sebagai wakil ketua Sinode; b) pengalaman langsung ketika bersama-sama di Palopo dalam satu pertemuan yang dilaksanakan EMS (Gereja-gereja Injili di Jerman Selatan) dengan gereja-gereja mitra di Indonesia beberapa tahun lalu.
Saya mendengar dan melihat langsung: siapa, dan bagaimana orangnya, pemikirannya yang bagi saya mensahkan dan meyakinkan apa yang sebelumnya telah saya dengar: dangkal, arogan dan eksklusif, tidak memiliki perspektif missiologis yang pluralis dan kontekstual bagi GMIM yang sedang berada di tengah masyarakat Minahasa, khususnya dan Sulawesi Utara, bahkan Indonesia pada umumnya yang sedang berubah, berkembang, secara sosiologia, budaya, termasuk agama-agama dan kepercayaan dan tentu teknologi komunikasi, bahkan sekarang sudah dengan 5.0.
Konteks, yang bagi saya seharusnya mendorong para pendeta, para pelayan khusus, para petinggi atau pejabat gereja, bahkan warga jemaat, ya- sebagai Gereja yang utuh perlu bijak, kritis, melek terhadap perubahan, baik pemikiran, literasi maupun praktek hidup berjemaat dan bergereja, tanpa arogansi apalagi yang memakai kekerasan dalam bentuk apapun. Hal yang sangat merendahkan martabat manusia. Semestinya, justru memiliki kepekaan emosional manusiawi dan sosiologis-pluralis dalam mengembangkan pikiran dan praksis teologis di tengah konteks hidup berjemaat, bergereja, bermasyarakat, baik secara ekumenis, maupun lebih luas, majemuk, atau bhinneka. Tidak arogan dan merasa serta memperlakukan diri dibawa oleh nurani yang egois, arogan, eksklusif dalam bungkusan mental superior, yang semuanya tampil dengan semangat yang sungguh kampungan dan merendahkan makna hidup, kerja dan pelayanan sebagai seorang pendeta, pelayan Tuhan dan sesama manusia.
Mengapa? Karena Gereja harus hadir sebagai saudara, sahabat, teman sekerja, bersama dengan lyan, di dalam jemaat, di gereja dan di tengah masyarakat yang majemuk, bhinneka. Ingat GMIM sedang berada dalam konteks masyarakat yang berubah, tidak tunggal dan tidak pernah akan tetap tunggal di bumi Minahasa dan di manapun juga.
Soal arogansi kekuasaan politik dan ekonomi (alias uang/materi)
Gerejapun (para petinggi/pejabat, yang adalah pelayan khusus) tidak arogan karena terbuai dengan dan dalam genggaman kekuasaan, baik politik dalam bergereja, maupun kekuasaan ekonomi (uang dan materi). Dua mamon yang sangat menggoda sekaligus berbahaya karena sangat mampu meracuni pikiran, hati nurani dan perilaku serta ekspresi kerja pelayanan gereja (para petinggi/pejabat gereja, pelayan khusus, siapapun), baik ke dalam di tengah-tengah Jemaat maupun keluar, di masyarakat. Sudah banyak contoh, dua mamon ini sedang meracuni gereja, tidak terkecuali GMIM. Entah mengapa? Menarik dan penting untuk diteliti lebih jauh.
Saya yakin, semua yang sudah dan sedang terjadi; semua yang akan dijadikan selama periode kepemimpinan ini, semakin menghancurkan GMIM ke dalam puing-puing arogansi kekuasaan: politik dan uang/materi yang sama sekali tidak berarti bagi kehidupan gereja, kecuali bagi arogansi itu sendiri. Secara pesimistis, dapat dikatakan bahwa, semua itu akan mengubur masa depan yang baik, bila cara-cara ini tetap dipraktekkan dan orang-orang yang dengan nekad melakukan cara-cara tersebut tidak pernah sadar dan tidak bersedia berubah, memperbaiki, tetapi justru menikmati karya mereka yang pada waktunya akan berakhir bersama dengan sejarah tanpa kejujuran, nihil hati nurani dan hampa tanggungjawab kepada Allah dan manusia-manusia.
Ya, dari jauh, sebagai alumni Fakultas Teologia UKIT, Tomohon, bagi saya, periode ini benar-benar mengaminkan serial kepemimpinan GMIM yang tidak memakai pikiran cerdas dan kritis, tidak memakai hati nurani yang manusiawi dan bersolidaritas, tidak menggunakan langkah-langkah strategis yang bijak, terukur dan untuk kepentingan masa depan hidup bersama sebagai Gereja di tengah masyarakat Minahasa, Sulawesi Utara dan Indonesia pada umumnya, apalagi sangat jelas, tidak mau terbuka pada kritik dari orang lain dan tidak pernah melakukan self-criticism. Semua itu indikator jelas bahwa GMIM sudah, sedang hancur berantakan karena tidak dalam kendali kejujuran, keterbukaan dan rendah hati.
Refleksi dan pesan untuk masa depan
Tapi, teman-teman, jangan putus asa. Kita belajar dari pengalaman hidup orang-orang beriman dalam cerita-cerita di Alkitab, kehancuran selalu akan membawa perubahan dan perbaikan yang menakjubkan. Dan itu bisa terjadi bila iman, harapan dan kasih kita tetap kuat dan berorientasi pada aktivitas yang terarah kepada KEHIDUPAN GEREJA YANG MENGHIDUPKAN, bukan Gereja yang merusak dan penuh dengan arogansi para pejabat atau petinggi gereja, apapun jabatannya. Ya, saya ingat materi PWG GMIM jaman kami kuliah: GEREJA YANG MENYEMBUHKAN. The HEALING CHURCH yang menjadi judul tulisan ini dan saya uraikan di atas. Yakinlah, setiap titik doa dan harapan, di situ selalu ada optimisme dan semangat serta jalan keluar. Pikiran-pikiran positif, kritis dan konstruktif harus terus-menerus dibangun. Ingat! Kejahatan, ketidakadilan dan ketidakbenaran, dalam bentuk apapun dan dengan kekuatan apapun, tidak pernah akan bertahan dan tidak pernah akan menghidupkan kehidupan individu dan bersama-sama, baik sebagai jemaat, gereja maupun masyarakat. Yakinlah, kebenaran dan keadilan sedang mendekat. Gereja harus hidup dan menghidupkan kedua hal itu dan tidak arogan. Berusaha solid dan maju terus. Salam, sahabat kalian.***
Pdt. A. Elga J. Sarapung (alumni Fakultas Teologia UKIT-Tomohon, tahun 1980-1985)
Saatnya melangkah kepada GMIM yang demokratis, pemilihan langsung setiap anggota sidi untuk pemimpin Sinode yang berorientasi pada kerajaan Sorgawi bukan kejayaan duniawi.