BerandaNUSANTARAPemuda Adat Melawan Stigma

Pemuda Adat Melawan Stigma

Penulis: Rikson Karundeng (Director Komunitas Penulis Minahasa MAPATIK)

MINGGU, 31 JANUARI 2021, Barisan Bemuda Adat Nusantara (BPAN) menggelar workshop bedah buku dan peluncuran buku. Acara bertajuk “Teruskan Mimpi, Perkuat Kampung” ini digelar secara daring. Para pemuda adat dari berbagai penjuru Nusantara, hadir bersama, saling berbagi kisah dalan ruang ini. Merayakan perjuangan, di momen 9 tahun BPAN yang jatuh pada tanggal 29 Januari 2020.

Ketua BPAN, Jacob Siringoringo, hadir untuk membuka dan menjelaskan maksud kegiatan dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, tampil untuk memotivasi para pemuda, di diskusi yang dipandu Sekretaris Nasional BPAN, Kalfein Wuisan.

Secara pribadi sangat bersyukur mendapat kesempatan menjadi bagian dari ruang para pemuda adat yang luar biasa ini. Hal pertama yang ingin saya ucapkan, “Selamat HUT ke-9 BPAN. Panjang Umur.” Kedua, apresiasi untuk kegiatan ini. Ruang berbagi yang sangat menginspirasi dan memotivasi. Ketiga, apresiasi untuk buku, karya luar biasa yang dilahirkan. “Menelusuri Jejak Leluhur” dan “Mahakarya Leluhur”, dua judul karya para pemuda-pemudi adat yang sudah diterbitkan tahun 2017 dan dibedah dalam kegatan ini. Kemudian, “Young Indigenous Women Ara Marginalized in Their Teritory”, karya hasil kerjasama BPAN dan AYIPN, yang didukung oleh FIMI, dan buku “Minahasa Milenial”, kerjasama BPAN dan Komunitas Penulis Mapatik Minahasa. Dua buku baru yang ikut dilaunching dalam acara ini.

STIGMATISASI MEMBUNUH MASYARAKAT ADAT

Ali Syamsul, Syahdatul Khairah, Burhanuddin, Yosi Narti, beberapa dari sejumlah penulis buku “Mahakarya Leluhur” dan “Menelusuri Jejak Leluhur”, diberi kesempatan awal untuk mengurai kisah. Mengungkap pengalaman mereka tahun 2015, ketika datang ke “negeri asing”, tinggal bersama dan belajar dengan komunitas adat di Riau, Maluku, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Utara. Sebuah pengalaman langsung ketika mengikuti program “belajar silang” yang digagas BPAN, di masa Jhontoni Tarihoran dipercayakan sebagai ketua organisasi pemuda adat ini.

Semua cerita mereka dimulai dengan sebuah kisah tentang stigmatisasi terhadap masyarakat adat. “Mereka menyambut pendatang dengan tembakan senjata, mereka suku yang membunuh untuk memperluas wilayah, mereka pemakan orang, mereka berekor.”

Ini rangkaian kisah “penyambut tamu” yang disuguhkan orang kepada mereka. Sebuah pengalaman yang cukup mengusik benak. Kisah itu seolah menyimpulkan bahwa masyarakat adat udik, sadis, beringas seperti hewan, tidak beradab, penyembah berhala, dan banyak pelekatan negatif lainnya. Cerita-cerita yang kontras dengan pengalaman mengagumkan yang kemudian dialami para pemuda adat tersebut ketika live-in, mengalami secara langsung pengalaman hidup bersama masyarakat adat di sejumlah daerah “pedalaman” di Nusantara.

Kisah itu mengingatkan saya tentang diskusi bersama kawan-kawan Mawale Movement, di Minahasa, sekira 15 tahun lalu. Stigmatisasi membunuh masyarakat adat, mematikan kepercayaan diri kita para pemuda adat, membuat kita merasa minder, membuat kita malu untuk mengaku sebagai anak kampung, anak masyarakat adat. Stigma itu sampai membuat anak-anak adat “terusir” dari kampungnya, dari tanah leluhurnya. Beranjak ke kota untuk belajar pendidikan (katanya) modern. Ilmu pengetahuan yang menjauhkan, membuat anak-anak adat terusir dari tanah (ingatan) leluhurnya.

Saya paham betul kisah ini, karena kami masyarakat adat Minahasa juga mengalami pengalaman itu. Di masa kolonial tou (orang) Minahasa distigma turunan “cuki mai” (incest – tindakan yang sesungguhnya dianggap tabu dan tidak boleh dilakukan oleh tou Minahasa). Di masa Indonesia merdeka, tou Minahasa distigma antek kolonial. Di era Orde Lama (pasca peristiwa Permesta) dan Orde Baru, tou Minahasa distigma sebagai pemberontak.

Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi dan buku “Minahasa Milenial”.

PENGALAMAN DI MINAHASA

Dari diskusi-diskusi bersama para pemuda adat Minahasa yang berjejaring dalam Mawale Movement, kami kemudian dicelikkan. Ternyata stigmatisasi itu memang sengaja dibuat agar kita meninggalkan tradisi budaya, identitas, meninggalkan ingatan tentang tanah, tentang leluhur. Ketika kita sudah “hilang ingatan”, maka dengan mudah akan dikontrol dan diatur sesuai keinginan pihak yang memiliki kepentingan atau agenda tertentu di tanah kita. Ketika masyarakat adat menjadi “zombie”, tanah mereka akan mudah dirampas, dan kekayaan alam mereka akan mudah dikuras.

Kesadaran itulah yang memotivasi saya dan kawan-kawan lain untuk memulai sebuah gerakan budaya bersama-sama hampir 20 tahun lalu. Menamakan gerakan itu mawale (menemukan jalan pulang, membangun rumah). Kita mulai berupaya mengembalikan ingatan dengan menelusuri jejak para leluhur, sejarah, leluri, syair-syair, ungkapan-ungkapan, tradisi budaya, filosofi, way of live dari para leluhur. Mengais setiap jejak nilai menghidupkan yang diwariskan para leluhur. Sebuh “rahasia” yang membuat mereka boleh survive dan berhasil melintasi gempuran zaman dari masa ke masa. Kami mendatangi situs-situs sejarah, memburu setiap kata yang tergores dari literatur apapun, dan terutama duduk manis mendengarkan tutur para tetua di kampung-kampung. Kami “berburu”, melakukan pendokumentasian (foto, video dan tulisan), dan giat menggelar diskusi untuk mengkritisi setiap data dan fakta yang ditemui.

Sebuah kesadaran kemudian lahir dari gerakan ini. “Menulis tentang kita, menurut kita (bukan menurut kaca mata ‘orang luar’, apalagi kacamata kolonial) itu sangat penting untuk dilakukan hari ini.” Tahun 2015, Saya, Kalfein Wuisan dan kawan-kawan lain kemudian memilih untuk lebih fokus melakukan kerja-kerja literasi. Di tahun itu, lahirlah Mapatik (Bahasa tana’ Minahasa: Menulis). Sebuh rumah bersama tempat para pemuda adat untuk berkumpul, belajar bersama, melatih keterampilan menulis bersama, melakukan pendokumentasian foto, video dan buku-buku tentang Minahasa; sejarah, tradisi dan budayanya.

Tangkapan layar diskusi BPAN dan sebagian peserta yang ikut berpartisipasi.

PEMUDA ADAT NUSANTARA MELAWAN

Empat buah buku karya para pemuda adat yang dilaunching BPAN Minggu sore ini, bagi saya sangat informatif, edukatif, memotivasi, dan benar-benar menginspirasi. Secara khusus tentu bagi para pemuda adat se-Nusantara.

Kisah kawan-kawan pemuda adat dalam diskusi tersebut membuat saya yakin jika program “Belajar Silang” BPAN sangat baik. Perlu dilanjutkan, agar semakin banyak pengalaman dan kisah “kebenaran” yang dijaring pemuda adat tentang saudara-saudara mereka di komunitas adat lain di Nusantara, yang dapat didokumentasikan dan diceritakan ke dunia yang lebih luas.

Program pendokumentasian yang digagas BPAN itu luar biasa. Saya tahu persis, banyak anak-anak adat yang sudah mulai menulis berbagai kisah tentang mereka, tentang siapa dan bagaimana tradisi mereka, tapi masih terkendala dengan proses pencetakan. Di sini mungkin salah satu peran penting BPAN. Barangkali dapat membantu proses pencetakan buku-buku itu. Paling tidak sekali, di awal, sebagai modal mereka untuk belajar mencetak sendiri karya-karya mereka kemudian.

Hal penting lain dalam kerja literasi adalah diskusi. Para pemuda adat harus akrab dengan berbagai bentuk diskusi rutin. Terutama yang bisa membuka, membongkar wacana kolonial yang masih bersarang di otak. Tentu penting untuk memulai sebuah “project” menulis dengan kesadaran, kemerdekaan berpikir. Agar kita tidak lagi menjadi orang yang merdeka dari penjajah asing, tapi otak atau mindset masih terjajah dengan wacana-wacana kolonial yang selama ini mematikan masyarakat adat. Wacana kolonial yang menghakimi nilai, tradisi budaya dan adat lokal, termasuk soal agama yang dianut masyarakat adat.

Dalam sebuah diskusi, seorang Kawan pernah bertanya ke saya, bagaimana kita bisa tahu bahwa pikiran kita telah terbebas dari belenggu kolonial ? Waktu itu, spontan dengan nada bercanda (tapi serius) saya menjawab, “Kalau masih ada dalam pikiran kita agama masyarakat adat tertentu belum sempurna, mereka masih kolot, terkebelakang, masih bodoh dan perlu dicerdaskan, peradaban barat lebih baik dari peradaban timur, itu tanda-tanda otak kita masih bermasalah.”

TERUSLAH MENULIS

Salah satu buku yang dilaunching dalam kegiatan BPAN ini adalah “Minahasa Milenial”. Sebuah karya yang ditulis oleh para pemuda adat (beberapa mungkin sudah agak beruban, namun masih punya semangat pemuda) di Minahasa, Sulawesi Utara. Febriani Pratiwi Sumual, Juan Rattu, Yan Okhtavianus Kalampung, Mineshia Lesawengen, Krueger Kristanto Tumiwa, Kharisma Kurama, Iswan Sual, Fredy Wowor, Kalfein Wuisan, dan saya.

Buku ini adalah salah satu dokumentasi tentang kisah-kisah sejarah dan tradisi budaya Minahasa, gagasan manusia Minahasa dan konsep tentang Minahasa dari para pemudanya hari ini. Kata Kalfein, “Minahasa Milenial” adalah sebuah gagasan pemikiran tentang Minahasa. Ia menjadi sebuah jiwa zaman tersendiri yang termanifestasi dalam karya dan pemikiran tou Minahasa yang hidup di kekinian.

Saya yakin buku ini, dan tiga buku lain yang diterbitkan BPAN banyak manfaatnya. Paling tidak dapat menginspirasi dan memotivasi kawan-kawan pemuda adat di mana pun untuk terus bersemangat mendokumentasikan kisah-kisah tentang kita, tentang leluhur dan warisan nilai yang luar biasa dari mereka, tentang manusia (menurut kita) dan tanahnya.

Sekali lagi, sungguh beruntung, karena itu sangat berterima kasih atas kesempatan, boleh mendengar kisah-kisah dari para pemuda adat yang luar biasa. Angka 9 adalah angka sempurna bagi orang Minahasa. Ia sempurna karena “ganjil”. Bagi tou Minahasa, angka genap ada karena ada angka ganjil. Karena ada yang kurang maka ada kesempurnaan.

Selamat HUT ke-9 BPAN. Tetap kosisten berefleksi dalam proses mewujud menuju kesempurnaan. Teruslah menulis dan sebarkan kisah-kisah tentang kita, leluhur kita dan tanah adat yang kita cintai. Tetap semangat, kawan-kawan pemuda adat.

“Bangkit Bersatu, Bergerak Mengurus Wilayah Adat. Teruskan Mimpi, Perkuat Kampung. I Yayat U Santi.” (*)

@Wale Mapatik, Kolongan.
Saat rembulan menggapai katoora, meninggalkan bulan pertama 2021.

#BarisanPemudaAdatNusantara
#KomunitasPenulisMinahasaMapatik
#LiterasiPemudaAdat
#MelawanDenganMenulis

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

KPU PROVINSI SULAWESI UTARA

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

KPU TOMOHON

spot_img
- Advertisment -spot_img
- Advertisment -spot_img
- Advertisment -spot_img
- Advertisment -spot_img
spot_img

Most Popular

Recent Comments