Penulis: Matt Rey Kartorejo
Sabtu malam, 1 Agustus, 2020. Sekira pukul 20.20 Wita. Saat itu aku sedang menjalani ‘ritual’ sebagai seorang jurnalis. Gerak jemari tengah merangkai kisah pilu terjangan banjir bandang yang melanda Kabupaten Bolaang mongondow Selatan (Bolsel).
Tiba-tiba telepon genggamku berdering. Terlihat di layar hp, Samsudin Dama calling. Secapatnya kupencet lingkaran hijau bergambar gagang telepon. Terdengar suara itu mengajakku minum kopi di kediamannya, di Desa Bulawan Satu, Kecamatan Kotabunan.
“Ke rumahku dulu, minum kopi Pinogu,” ajak Samsudin di balik telepon genggamnya.
“Ok siap,” jawabku singkat.
Ku panggil sahabatku Dio Djubair, menemani pergi ke rumah Samsudin. Starter sepeda motor bergerak pukul 10.30 Wita. Kami langsung beranjak.
Sesampainya di kediaman Samsudin, tampak Gazali Ligawa dan Dewan Paputungan sudah berada di tempat itu. Dua penulis itu terlihat sedang asik bercakap di teras depan.
“Assalamualaikum,” ucapku dan langsung direspon sahabat Dewan Paputungan.
Sedikit basa-basi, aku duduk di samping Samsudin dan menanyakan kopi Pinogu yang ia tawarkan sebelumnya.
“Kopinya mana,” tanyaku.
Pria yang akrab disapa Papa Caca itu pun langsung merespon dengan mengambil uang untuk membeli susu yang akan dicampurkan ke dalam kopi khas Gorontalo itu.
Sambil menunggu susu yang dibeli Dio Djubair, Istri Dewan Paputungan menyajikan kue ‘kolombeng’, dan kue berwarna-warni yang tampak cukup memikat lidah. Orang Kotabunan biasa menyebut kue itu dengan sebutan ‘Siri-siri’. Selain itu, dodol kacang yang sudah dipotong kecil-kecil ikut tersaji di atas meja.
Sambil menikmati kue yang disajikan, kami pun mulai berbincang tentang isu-isu politik. Selang beberapa menit, Dio Djubair datang dengan membawa susu dan dua bungkus rokok. Samsudin yang asik bercakap, beranjak ke dapur.
Tak lama kemudian Kopi Pinogu tiba.
“Silahkan diminum kopinya,” tutur Samsudin.
Lima gelas disajikan, semuanya terisi dengan kopi Pinogu. Obrolan kami berlanjut.
Beberapa jam membaca kondisi politik Bumi Nyiur Melambai hingga Tanah Totabuan, Samsudin kemudian memotong. Meminta agar hari minggu nanti kami menemaninya ke Langowan, Minahasa, menghadiri pemakaman almarhum ayahanda Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Boltim, Jamal Rahman Iroth. Kami berencana akan berangkat pada pukul 07.00 Wita.
Malam semakin larut, kopi Pinogu masih tersisa di dalam ketel. Aku kembali mengisi gelas yang mulai kosong. Maklum, kopi dari Kota Lumbung Jagung itu jarang ditemukan di Kabupaten Boltim. Selain memiliiki cita rasa tersendiri, kopi Pinogu belum tersentuh dengan zat-zat kimia sehingga aku begitu suka dengan kopi ini.
Cerita kami terus bersambung, tiba-tiba suasana jadi hening. Samsudin yang lagi asik bercerita menerima telepon dari temannya. Usai bercakap ia di telepon, cerita terus berlanjut. Rasanya malam itu tidak akan tidur karena suasana asik ini pasti sulit dihentikan.
Bobi Daud Hadir, Suasana Makin Hangat.
Pukul 23.30 Wita, mobil Toyota Yaris berwarna putih, berhenti di depan rumah tempat kami berdiskusi. Bobi Daud tampak keluar dari mobil itu. Ia dan temannya mampir dan langsung dijemput Samsudin.
Sedikit basa-basi, Samsudin menawarkan makan.
“Sudah makan? Kalau belum saya akan atur makanan,” kata Samsudin kepada sahabatnya Bobi Daud.
“Begini saja, kamu bikin mie instan saja,” kata Bobi Daud.
Perbincangan bernuansa politik lebih mendominasi pada pukul 24.00 Wita. Bokong kami sepertinya kian merekat di tempat duduk karena asik mendengar cerita politisi Partai Amanat Nasional (PAN) dari Kota Manado itu.
Momen langka. Kami terus di samping Bobi Daud, mendengarkan cerita-cerita yang sangat inspiratif.
Benak baru saja memantik untuk menanyakan tentang pertarungan pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Utara (Sulut), namun makanan yang dibuat sudah disajikan di ruangan belakang. Akhirnya kami berhenti sejenak dan menuju ke meja makan. Menikmati makan tengah malam bersama.
Pukul 01.00 Wita, kami minta izin ke Bobi Daud untuk mewawancarainya tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada) Sulut. Ketua Fraksi PAN di DPRD Kota Manado ini pun bersedia untuk diwawancarai.
Di ruang tamu, kami melayangkan pertanyaan-pertanyaan soal Pilkada Sulut ke depan. Beragam pertanyaan dijawab dengan santai anggota DPRD Manado tiga periode ini.
Kurang lebih 20 menit, wawancara berakhir dan kami kembali bercakap santai di ruang tamu bersama Samsudin. Pukul 02.00 Wita, Bobi Daud sepertinya sudah ingin pulang ke Kota Manado. Ia pun pamit dan diantar Samsudin di ujung gerbang rumah.
Setelah mesin mobil Bobi Daud dinyalakan, kami juga pamit pulang. Gazali Ligawa ke Kotabunan, Dewan Paputungan ke Bulawan Dua, aku dan Dio Djubair kembali ke Desa Bulawan. Hasrat begitu menggebu untuk menggores kisah-kisah yang baru didapat itu di atas keyboard laptop. (*)