Penulis : Sunadio Djubair
Kotamobagu – Gemuruh dan hiruk-pikuk melanda daerah Nyiur Melambai. Suksesi kepala daerah Sulawesi Utara (Sulut) melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2020 jadi pemantik.
Kontestasi demokrasi untuk memilih calon pemimpin masa depan bukanlah hal sederhana, tetapi perlu dimaknai sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diamanatkan oleh konstitusi yang telah dijabarkan melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, Wali Kota, selanjutnya PKPU Nomor 1 Tahun 2020.
Hal tersebut diungkapkan pegiat demokrasi Bolaang Mongondow Raya (BMR), Gun Lapadengan, S.H.
“Semua dibuat oleh pemerintah untuk memagari sebuah proses agar berjalan sebagaimana yang diharapkan dalam peraturan tersebut, dan diharapkan agar tidak diselewengkan oleh para penyelenggara di semua tingkatan,” kata Lapadengan.
Menurutnya, kontestasi pilkada gubernur, khususnya di Sulut pada tahun 2020 ini, sangatlah unik dan menarik perhatian. “Apa yang unik dan menariknya? Unik karena kali pertama pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat kontestannya adalah gubernur dan wakil gubernur petahana dan pesaingnya adalah para bupati yang sedang berkuasa di daerahnya,” ujarnya.
Kata Lapadengan, hal ini menarik perhatiannya. Gubernur dan wakil gubernur Olly Dondokambey dan Steven Kandow (OD-SK) sebagai incumbent bersaing dengan para bupatinya yang juga sedang berkuasa. Masing-masing Bupati Minahasa Utara (Minut) Vonny A. Panambunan, Bupati Minahasa Selatan (Minsel) Christiany E. Paruntu dan Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim) Sehan Salim Lanjar.
“Menarik kita ikuti bagaimana kemampuan mereka merebut hati rakyat untuk berpihak dan memilih mereka sebagai gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Utara periode 2021-2026,” tuturnya.
Lapadengan menyebutkan, dalam politik modern hal yang diukur dan menentukan keberhasilan atau kemenangan dalam kontestasi pilkada adalah kekuatan figur bakal calon yang kuat. Memiliki track record yang jelas dan cenderung positif di masyarakat. Kekuatan figur yang menjadi tokoh sentral sangat menentukan karena takyat butuh pemimpin yang kuat dan cerdas serta egaliter.
“Dukungan partai politik (parpol) syarat mutlak menuju kemenangan. Bagaimana mungkin kita bicara menang kalau tidak diusung oleh partai sebagai kendaraan politiknya mengikuti kontestasi. Mesin partai yang maksimal menggerakkan akar rumput sebagai pendukung menuju kemenangan adalah kunci,” jelas Lapadengan.
Kata dia, dukungan rakyat yang ril untuk perubahan karena rakyatlah yang menilai dan merasakan selama kepemimpinan berjalan, baik atau tidak. Apakah perlu dilanjutkan karena ada incumbent yang maju kembali sebagai salah satu calon atau seperti apa.
“Rakyat sudah cerdas menilai, selama kepemimpinan apakah pro terhadap kepentingan rakyat atau tidak?” kata Lapadengan.
Ia juga mengatakan, dalam pandangannya, sejak OD-SK berkuasa masih banyak hal yang perlu dibenahi dan diperbaiki, terutama pada sektor pendidikan dan kesehatan masyarakat serta pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang stagnan selama ini. Kesenjangan sosial sangat terasa di daerah, terutama di BMR.
“BMR dalam amatan penulis dianaktirikan dalam penentuan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) provinsi dari tahun ke tahun. Padahal hampir 52 persen wilayah Sulut adalah BMR. BMR pula penyuplai terbesar pada kebutuhan pokok masyarakat Sulawesi Utara. Logikanya dan seharusnya pendistribusian anggaran harus mendapatkan porsi yang lebih besar. Tapi itu tidak terjadi karena prioritas hanya Manado sampai Kema,” ketusnya.
Untuk mewujudkan rasa keadilan dan pemerataan pembangunan di Sulut, menurut tokoh BMR ini, pilihannya adalah mengganti pemimpin secara konstitusional melalui pemilihan gubernur dan wakil gubernur tahun 2020 ini.
Ditegaskan, pemimpin kolaboratif sudah saatnya dimiliki oleh Sulut. Untuk mewujudkan kepemimpinan yang kolaboratif maka pilihannya adalah pasangan CEP – SSL. Mereka sudah teruji dua periode memimpin dan memajukan daerahnya dengan segudang prestasi di level regional maupun nasional. Kerinduan masyarakat Sulut pada pemimpin yang mewarnai kemajemukan ada pada sosok calon gubernur Cristiany Eugenia Paruntu dan Wakil Gubernur Sehan Salim Landjar (CEP-SSL).
“Kalau ada yang berpandangan lain, itu hak bagi setiap warga negara dan dijamin oleh konstitusi. Pilihan kepada pemimpin kolaboratif adalah kebutuhan dan sudah saatnya kita Sulawesi Utara untuk berbenah. Pemimpin kolaboratif adalah harga hidup bagi rakyat Sulawesi Utara yang saatnya sudah tiba,” pungkasnya.
“Kapan lagi kalau bukan sekarang, siapa lagi kalau bukan torang,” tandasnya.
“Torang samua basudara harus kolaborasi, dan itu hanya ada pada CEP dan SSL sebagai simbol toleransi. Bukan hanya di teks slogan tapi diwujudkan sebagai gubernur dan wakil gubernur Sulut. Buatlah sejarah wahai rakyat Sulawesi Utara. Memilih CEP-Sehan adalah sejarah bagimu, dan sejarah tidak akan terlupakan sampai kapanpun,” ucap Lapadengan.
Ia menambahkan, kolaborasi kepemimpinan Sulut digantungkan oleh rakyat kepada CEP dan Sehan sebagai tonggak sejarah kebangkitan Sulut sebagai daerah penuh toleran. Bukan dalam slogan tetapi diwujudkan dalam bentuk kepemimpinan gubernur dan wakil gubernur Sulut. (*)